Senin, 15 Maret 2010

More than Scores

Kisah ini saya alami sekitar awal tahun 2008. Waktu itu saya masih menjadi seorang mahasiswi tingkat satu yang bertekad untuk memperoleh IPK cum laude karena bagi saya waktu itu, IPK yang tinggi merupakan standar keberhasilan seorang mahasiswa dalam menjalani kehidupan akademisnya. Tapi saya memperoleh pelajaran lebih dari sekedar IP dari sebuah kehidupan perkuliahan setelah saya mengalami peristiwa berikut ini.
Berdasarkan tekad saya unntuk memperoleh IPK cum laude, saya sangat puas ketika IP semester satu saya berhasil melewati angka 3,51. Obsesi itu pun berlanjut ketika saya menjalani semester 2. Tapi ternyata jalan untuk mencapai tekad itu tidak semudah yang saya bayangkan. Jika saat semester pertama materi kuliah masih bisa ditanggulangi dengan gaya belajar saya ketika SMA, kini saya harus berhadapan dengan persoalan yang memerlukan analisis lebih mendalam dan juga kegiatan kepanitiaan yang cukup menggerogoti waktu belajar saya.
Optimisme masih terus ada sampai suatu ketika ada mata kuliah yang cukup sulit untuk saya jalani (selanjutnya kita sebut mata kuliah ini dengan X), sementara mata kuliah lain pun tidak semulus mata kuliah ketika semester pertama. Pesimisme mulai menggeser kedudukan optimisme dalam jiwa saya. Puncaknya terjadi ketika saya memperoleh nilai UTS dari mata kuliah X. Sungguh senang saya menyaksikan gemilangnya nilai UTS teman-teman saya yang hampir semua mulai dari kepala 8 atau 9. Saya jadi yakin nilai saya pun tidak akan jauh berbeda dengan mereka.
Tapi apa yang terjadi? Ketika kertas ujian telah sampai di tangan, ternyata hanya nilai 55 yang saya dapatkan! Saya down sekali saat itu. Apalagi dari hampir seratus mahasiswa yang mengikuti ujian tersebut, tidak sampai sepuluh orang yang nilainya dibawah 65. Malu sekali rasanya. Saya pun segera memasukkan kertas itu ke dalam tas dan tidak sudi untuk melihatnya lagi.
Keesokkan harinya, saya dan seorang teman saya, Lala (bukan nama sebenarnya) yang juga mendapat nilai buruk untuk mata kuliah X pun saling berkeluh kesah. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dan hanya bisa pasrah, sampai tiba-tiba saya mendengar Lala bicara seperti ini,”Kita ketemu sama Mbak Dini yuk, katanya kita disuruh menghadap dia.” Mbak Dini (bukan nama sebenarnya) adalah salah seorang dari tim pengajar mata kuliah X yang kebagian mengajar kelas saya dan Lala. Saya cukup kaget karena ternyata di kertas ujian yang tidak pernah saya lihat lagi itu ada tulisan dari dosen pengoreksinya ‘sepertinya kamu harus menghadap saya’. Seketika saya melihat secercah harapan untuk bisa memperbaiki nilai itu. Kami pun menghubungi Mbak Dini unuk membuat janji bertemu, tapi ternyata yang mengoreksi semua kertas ujian kami adalah Mbak Reni (bukan nama sebenarnya), anggota tim pengajar mata kuliah X yang lain.
Sejujurnya saat itu saya kurang suka dengan Mbak Reni, bukan tidak suka dengan orangnya, tapi pada gaya mengajarnya. Jadi sebelum ia mengajar mata kuliah X, saya sempat diajar mata kuliah lain olehnya. Ketika itu ia mengajar bergantian dengan seorang dosen yang menjadi favorit mahasiswa dan piawai dalam mengajar, dan ketika giliran Mbak Reni yang mengajar kami, jadi agak jomplang jadinya bila dibandingkan dengan dosen favorit tersebut.
Keesokan harinya, kami menemui Mbak Reni di kantornya. Kami datang dengan harapan nilai kami bisa dibantu. Saat itu saya masih digelayuti perasaan kurang suka saya terhadap Mbak Reni, tapi tidak sampai pada tahap saya tidak mau menemuinya. Setelah berhadapan dengan Mbak Reni, kami ditanya satu per satu olehnya mengapa kami kesulitan dalam mengerjakan ujian itu. Kami pun menjawab sesuai dengan alasan masing-masing. Akhirnya Mbak Reni mau membantu kami tapi bukan dengan menaikkan nilai tambahan pada kami. Ia memberi tugas yang harus diserahkan tiap minggu berisi ulasan materi mata kuliah X pada minggu kami mengumpulkan, sampai UAS tiba. Ia menegaskan tugas ini bukan untuk membantu nilai kami, tapi tentu keseriusan kami akan dijadikan pertimbangan pada saat penentuan keputusan apakah kami diluluskan atau tidak dari mata kuliah X ini. Kami pun menyanggupi tugas tersebut.
Tapi ternyata apa yang kami dapat dari kedatangan kami menghadap Mbak Reni tidak sampai disitu saja. Ia lalu mengatakan bahwa ia tidak sempurna dan kemudian menceritakan bahwa dulu ia pernah menghadapi mahasiswa diploma yang tidak lulus mata kuliah yang diajarnya. Mbak Reni, lalu mengadakan pembicaraan empat mata dengan mahasiswa tersebut. Seperti yang dilakukannya pada kami, Mbak Reni bertanya padanya apa yang terjadi sampai ia bisa tidak lulus. Setelah mendengar jawaban dari mahasiswa tersebut, Mbak Reni pun dengan tulus dan sungguh-sungguh mengatakan padanya bahwa ia bangga kepadanya dan percaya bahwa sebenarnya ia bisa melalui mata kuliah tersebut dan pasti jadi orang hebat kelak. Ia pun memberi kesempatan pada mahasiswa tersebut untuk melakukan yang terbaik pada kesempatan selanjutnya. Dan apa yang terjadi? Pada kali kedua mahasiswa tersebut mengikuti mata kuliah itu, ia mengerjakan tugas-tugasnya dengan luar biasa, sampai-sampai membuat para dosen takjub dan akhirnya berhasil memperoleh nilai sempurna, alias A!
Ketulusan yang dipancarkan oleh Mbak Reni saat itu membuat saya dan Lala tersentuh, dan bangkitlah keyakinan kami bahwa kami mampu. Tiba-tiba Mbak Reni bangkit dari kursinya dan bergeser ke tempat yang lebih longgar, ia menyuruh kami berdiri menghampirinya, dan ia berkata,”Sini, kalian saya peluk satu-satu.” Kami pun memeluknya satu per satu. Ia memeluk kami sambil berkata,”Saya selalu bangga dengan kalian mahasiswa S1 Reguler, kalian cerdas dan pintar. Saya yakin kalian pasti akan menjadi orang sukses.”
Air mata saya dan Lala pun tak terbendung lagi, sungguh kami tak sanggup menampung semua kasih sayang, kepercayaan, dan dukungan yang sebegitu besar dan dengan terlalu cepat terpancar dan diberikan Mbak Reni berikan pada kami. Dan dari apa yang dia ungkapkan, saya yakin dia bangga akan seluruh mahasiswanya, anak didiknya, tidak peduli program apa yang diambilnya.
Kini tidak ada lagi alasan untuk saya tidak menyukai Mbak Reni. Mungkin ia memang tidak sempurna dalam hal mengajar, bukan salahnya jika waktu itu ia disandingkan dengan dosen yang memang lebih berbakat dalm mengajar. Mungkin memang ada ketidaksempurnan dalam tubuhnya. Yang saya tahu ia mengidap kanker, tapi sebagai seorang mahasiswa, saya tidak pernah melihat semangat yang hilang dari dirinya. Ia mengajar seperti dosen pada umumnya, tapi ia memberi kami pelajaran hidup lebih sebagai dosen yang luar biasa.
Saya pun jadi makin menyadari, mungkin saya tidak bisa menjadi yang terbaik dalam bidang akademis, toh saya memang lebih suka menjadi praktisi dibanding akademisi. Kalau pun saya memaksakan diri, saya akan sakit hati jika saya gagal. Tapi saya tahu bahwa saya bisa hebat di bidang manapun yang saya cintai dan pilih untuk berkembang dan berusaha segenap daya untuk menjadi yang tersukses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar